Rabu, 22 Februari 2012

Makalah Nurudin Ar-Raniri dan Abdur Rouf As-Sinkili

BAB I

PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar

Dalam sejarah Intelektual Islam Indonesia, bahwa konsep sejarah adalah peristiwa yang benar terjadi pada masa lampau, Intelektual disini kita sepakati sebagai pemikiran tentang segala sesuatu baik dalam bidang Politik, Sosial, dan Agama. Jadi Sejarah Intelektual Islam Indonesia adalah mempelajari peran akal dan proses berfikir manusia pada masa lampau dalam wilayah Indonesia.

Nangroe Aceh Drussalam merupakan daerah istimewa di Indonesia, karena Aceh terkenal dengan keislamannya. Aceh merupakan Serambi Mekah kerena agama Islam masuk ke nusantara melalui wilayah ini. Dengan kata lain Aceh adalah pintu gerbang Islam Indonesia. Masyarakat Aceh terkenal dengan pemeluk Islam yang taat, cenderung fanatik, dan mempunyai keberanian yang luar biasa. Pada pertemuan sebelumnya kita telah membahas tokoh intelektual khususnya di Aceh yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, pada pertemuan kali ini pemakalah akan membahas tokoh Nuruddin Ar-Raniri dan Abdur Rouf As-Sinkili. Keempat ulama ini merupakan ulama yang berpengaruh dalam perkembangan Intelektual Islam di Aceh, mereka juga menjabat sebagai Mufti Kerajaan Aceh Darussalam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Nurudin Ar-Raniri dan Abdur Rouf As-Sinkili?

2. Bagaimana pemikiran kedua tokoh ini?

3. Bagaimana jaringan intelektual mereka?

4. Apa saja karya-karya kedua tokoh ini?


BAB II

PEMBAHASAN

I. Pemikiran Nuruddin Ar-Raniri (W. 1068 H / 1658 M)

A. Biografi

Nuruddin Ar-Raniri lahir pada abad ke-10 H atau 16 M di Ranir wilayah Surat, Gujarat, pantai barat India. Ayahnya Ali Ar-Raniri dan ibunya asli orang Melayu. Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru.

Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama. Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq (logika), dan retorika (Balaghah). Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya.[1]

B. Jaringan Intelektual

Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam. Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.

Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari. Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. ‘Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus.

C. Pemikiran Ar- Raniri

Pada abad ke 17, di kerajaan Aceh terdapat empat ulama besar silih berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani keduanya merupakan tokoh ahli Tasawuf yang beraliran Wihdatul Wujud (Aliran Wujudiyah) mereka mengajarkan semacam sinkretisme antara Allah (Khalik) dengan manusia (Makhluk). Ulama ketiga di Aceh Syekh Nuruddin Ar-Raniri yang sangat menentang ajaran Hamzah dan muridnya, kemudian kempat yaitu Abdur Rouf As-Sinkili yang nantinya berusaha mengambil jalan tengah pertentangan antara pengikut Nuruddin dengan kedua pengikut ulama terdahulu. Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Symsuddin yang juga guru Syekh Abdur Rouf , walau pendapat dalam bidang tasawufnya berbeda.

Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas. Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafi, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya

Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang mu’tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam habis-habisan Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i.

Ar-Raniri mengikuti paham Wihdatus Syhud, yaitu menunggalnya makhluk dengan al-khalik bukan dalam wujud, tetapi hanya dalam kesaksian, paham ini sama dengan pandangan kalangan sufi sunni.[2]

D. Karya-karya

Bustan as Salatin fi Dzikir al Awwalin wal akhirin yang lebih dikenal dengan Bustan as Salatin (taman raja) yang merupakan karya besar pujangga Nuruddin, Tajus Salatin (mahkota raja-raja), keduanya banyak berisis nasihat, dzikir. As-Sirath al-Mustaqim (jalan lurus) berisi ilmu fikih. Jawahir al-Ulum fi Kasyf al Ma’lum, berisi ilmu fikih dan tasawuf. Asrar al-Insan fi Ma’rifat ar-Ruh Waar Rahman, Berisi masalah ruh dan ghaib yang dihubungkan dengan ilmu Tasawuf.

II. Pemikiran Abdur Rouf As-Sinkili (1024-1105 H / 1615-1693 M)

A. Biografi

Dilahirkan di Singkel, Aceh, pada 1024 H/1615 M, nenek moyang Sheikh Singkel berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Nama Singkel dinisbakah pada daerah kelahiran yaitu beberapa literatur menyebutkan, ayah Singkel adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, kendati tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri. Nama yang terakhir ini merupakan seorang ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ayah Singkel, yakni Syeikh 'Ali adalah seorang Arab yang telah mengawini wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatera Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.

B. Jaringan Intelektual

Pendidikan, terutama pertama Singkel didapatkan di tempat kelahirannya, Singkel dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga mempunyai pesantren. Singkel pun menimba ilmu di Fansur, karena ketika itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Beberapa tahun kemudian, Singkel berangkat ke Banda Aceh, ibukota kesultanan Aceh dan belajar kepada Syamsuddin al-Samatrani, seorang ulama pengusung doktrin Wujudiyyah. Sejarah perjalanan karier Singkel diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M. Tercacat ada sekitar 19 guru yang pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadiral Mawrir. Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Singkel adalah Ibrahim Abdullah Ja'man, seorang muhaddits dan faqih. Di samping itu dia juga seorang pemberi fatwa yang produktif.[3]

Sebagian besar waktu Singkel dihabiskan untuk mempelajari ilm al-zhahir (pengetahuan eksoteris) seperti fiqih, hadits dan subyek lain yang terkait. Sementara guru Singkel yang lain, yakni Ishaq Muhammad Ja'man, terkenal sebagai muhaddits dan faqih di Bayt-Faqih. Kemudian Singkel juga menjalin hubungan dengan beberapa ulama terkemuka di Makkah. Antara lain Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj Al-din Ibn Ya'qub, Ala' Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal Al-Makki dan Abd Allah Sa'id Ba Qasyir al-Makki. Dari banyak ulama inilah yang akhirnya menjadi bagian dari jaringan Singkel dalam upayanya menyebarkan pembaruan dan pengetahuan Islam di nusantara.

C. Pemikiran Abdur Rouf

Inilah ulama besar yang ikut mewarnai sejarah mistik Islam di nusantara. Sheikh Abdur Rauf Singkel, terkadang ditulis Abdur Al-Ra'uf Al-Sinkili. Mistik Islam itu ia ajarkan melalui Tarekat Syattariyah. Tarekat Syatariyah sendiri mulai muncul di India pada abad 15. Nama Syattariyah dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, yaitu Abdullah Al-Syattar. Tarekat Syattariyah pernah menduduki posisi penting lantaran tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam. Di Indonesia, tarekat ini lalu dikembangkan oleh Sheikh Singkel. Karena pengetahuannya yang luas itu, maka Sultanah Shafiyyat Al-Din menunjuk Singkel menjadi Qadhi Malik Al-'Adil atau mufti yang bertanggungjawab terhadap administrasi masalah keagamaan di kesultanan Aceh. Dengan dukungan sultanah, Singkel berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat yang sudah ada sebelumnya.

D. Karya-karya

Sehidupnya, tercatat Singkel sudah mengggarap sekitar 21 karya tulis, terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu. Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari'yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara' Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah. Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajali). banyak karyanya,terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir berjudul Tarjumanal-Mustafid.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas bahwa di Aceh adalah wilayah awal penyebaran intelektual muslim di Indonesia, kemudian di Aceh terdapat empat ulama besar yang sangat mempengaruhi perkembangan intelektual di Indonesia yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdur Rouf as-Sinkili. Keempat disini terkait dengan pembahasan pemakalah kami yaitu berbicara tentang sejarah, pemikiran Nuruddin ar-Raniri dan Abdur Rouf as-Sinkili. Pemakalah berusaha menganalisis kedua pemikiran tokoh tersebut. Pemikiran Nuruddin, dilihat dari biogarfinya ia berasal dari daerah yang pada saat itu Islam telah berkembang, kemudian Ranir itu kota yang terkenal dengan masayarakat yang suka merantau, dengan berbisnis sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu agama. Nuruddin yang nantinya menentang ajaran yang dibawa kedua ulama besar terdahulu, kemudian Abdur Rouf datang dengan pertengahan antara kedua ulama sebelumnya dengan Nuruddin.

Abdu Rouf berpendapat ia tidak dapat menerima cara Ar-Raniri untuk melanjutkan pembaharuannya, karena dalam islam, mengutip Nabi SAW bahwa setiap pernyataan kaum muslimin tidak bisa dianggap salah selama orang lain menafsirkannya dengan cara berbeda. Dari kejadian antara kedua tokoh terdahulu dengan Nuruddin, kita dapat menyimpulkan bahwa bagaimanapun jaringan intelektual dalam perjalanan sejarah islam di kepulauan Nusantara.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Azra, Azyumardi, Dr, Prof, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,

Ø http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/syeikh-nuruddin-ar-raniri/

Ø Suprapto, Bibit, H.M, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, 2009 (Jakarta:Gelegar Media Indonesia)

Ø www.google.com



[1] Dr Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta:Kencana, 2007), Hal. 203

[2]H.M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta:Gelegar Media Indonesia, 2009), Hal. 665.

[3] Dr Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta:Kencana, 2007), Hal. 234

2 komentar: